Teori-teori Motivasi
(Teori
Kebutuhan Berprestasi); (3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori
Herzberg
(Teori Dua Faktor); (5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan tujuan;
(7) Teori
Victor H. Vroom (teori Harapan); (8) teori Penguatan dan Modifikasi
Perilaku;
dan (9) teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi. (disarikan dari
berbagai
sumber : Winardi, 2001:69-93; Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo
Gitosudarmo
dan Agus Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167).
1. Teori
Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori
motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow
pada intinya
berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai
lima tingkat
atau
hierarki kebutuhan, yaitu :
(1)
kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus,
istirahat
dan sex
(2)
kebutuhan rasa aman (safety
needs),
tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan
intelektual
(3)
kebutuhan akan kasih sayang (love needs)
(4)
kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya
tercermin
dalam berbagai simbol-simbol status dan
(5)
aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi
seseorang
untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya
sehingga
berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan
yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua
(keamanan)
kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya
dengan
menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang
lainnya
dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari
cara membuat
klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa
sifat, jenis
dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan
yang lainnya
karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas
bahwa
kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat
pskologikal,
mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula
untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya
organisasi
yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin
mendalamnya
pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan
organisasional,
teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan
dikatakan
mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut
terutama
diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan
oleh Maslow.
Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara
analogi
berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga
berarti
dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya.
Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan
manusia,
berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan
tingkat
kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama
yaitu
sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan
diusahakan
pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula
seterusnya.
Berangkat
dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan
manusia
makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan
hanya tepat,
akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman
menunjukkan
bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia
berlangsung
secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik,
seseorang
pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa
dihargai,
memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila
berbagai
kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan
sebagai
hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
Kebutuhan
yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul
lagi di
waktu yang akan datang;
Pemuasaan
berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik,
bisa
bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif
dalam
pemuasannya.
Berbagai
kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam
arti tibanya
suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat
berbuat
sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati
pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih
bersifat
teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi
pengembangan
teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan
berikutnya
yang lebih bersifat aplikatif.
2. Teori
McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari
McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai
prestasi
atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi
berbeda-beda,
sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi.
Murray
sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan
prestasi
tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau
pekerjaan
yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-
obyek fisik,
manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat
mungkin dan
seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi
kendala-kendala,
mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak
untuk diri
sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain.
Meningkatkan
kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut
McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi
(high
achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk
mengerjakan
tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai
situasi-situasi
di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka
sendiri, dan
bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan
(3)
menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka,
dibandingkan
dengan mereka yang berprestasi rendah.
3. Teori
Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori
Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG”
dalam teori
Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E
= Existence
(kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk
berhubungan
dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan
pertumbuhan)
Jika makna
tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal
penting.
Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau
model yang
dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence”
dapat
dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori
Maslow; “
Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan
keempat
menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna
sama dengan
“self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer
menekankan
bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan
pemuasannya
secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut
akan tampak
bahwa :
Makin tidak
terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula
keinginan
untuk memuaskannya;
Kuatnya
keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin
besar
apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
Sebaliknya,
semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih
tinggi,
semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang
lebih
mendasar.
Tampaknya
pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh
manusia.
Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat
menyesuaikan
diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain
memusatkan
perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.
4. Teori
Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan
ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi
penting
dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang dikembangkannya
dikenal
dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional
dan faktor
hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut
teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang
mendorong
berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber
dalam diri
seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene
atau
pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti
bersumber
dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam
kehidupan
seseorang.
Menurut
Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional
antara lain
ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan
bertumbuh,
kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan
faktor-faktor
hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status
seseorang
dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya,
hubungan
seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan
yang
diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi
dalam
organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu
tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah
memperhitungkan
dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat
dalam
kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang
bersifat
ekstrinsik
5. Teori
Keadilan
Inti teori
ini terletak pada pandangan bahwa manusia
terdorong
untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat
bagi
kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila
seorang
pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak
memadai, dua
kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
Seorang akan
berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
Mengurangi
intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas
yang menjadi
tanggung jawabnya.
Dalam
menumbuhkan persepsi tertentu, seorang
menggunakan
empat hal sebagai pembanding, yaitu :
Harapannya
tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima
berdasarkan
kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat
pekerjaan
dan pengalamannya;
Imbalan yang
diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi
dan sifat
pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
Imbalan yang
diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan
yang sama
serta melakukan kegiatan sejenis;
Peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan
jenis
imbalan yang merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan
hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa
para pejabat
dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada
jangan
sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para
pegawai.
Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif
bagi
organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi,
sering
terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para
pegawai
berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing,
pemogokan
atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.
pegawai
biasanya
6. Teori
penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin Locke
mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan
memiliki
empat macam mekanisme motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan
mengarahkan
perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan
meningkatkan
persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi
dan
rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model
instruktif
tentang penetapan tujuan.
7. Teori
Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H.
Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And
Motivation”
mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori
Harapan”.
Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang
ingin
dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa
tindakannya
akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya,
apabila
seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya
terbuka
untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya
mendapatkannya.
Dinyatakan
dengan cara yang sangat
sederhana,
teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan
sesuatu dan
harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang
bersangkutan
akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang
diinginkannya
itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang
diinginkannya
itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan
ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber
daya manusia
teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena
penekanan
tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai
dalam
menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-
cara yang
paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini
dianggap
penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai
tidak selalu
mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara
untuk
memperolehnya.
8. Teori Penguatan
dan Modifikasi Perilaku
Berbagai
teori atau model motivasi yang telah dibahas di
muka dapat
digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan
pada
kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan
berarti
sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi
tersebut.
Padahal
dalam kehidupan organisasional disadari dan
diakui bahwa
kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai
konsekwensi
ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai
faktor di
luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah
perilaku.
Dalam hal
ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum
pengaruh”
yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi
perilaku
yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan
mengelakkan
perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya
konsekwensi
yang merugikan.
Contoh yang
sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu
menyelesaikan
tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut
mendapat
pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan
gaji yang
dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekwensi
perilakunya
itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih
teliti, akan
tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya
dengan
belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin
bertambah,
yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif
lagi di
kemudian hari.
Contoh
sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali
mendapat
teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan
sanksi
indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi
konsekwensi
negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi
perilakunya,
yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting
untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk
modifikasi
perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia
yang harus
selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh
dengan
“gaya” yang manusiawi pula.
9. Teori
Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik
tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model
motivasi
yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan
dan
kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan
menemukan
sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai
kelebihan
model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat
kesepakan di
kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang
tercakup
dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang
individu .
Komentar
Posting Komentar